Memories

1056717_1382510505344040_993373425_n

Tittle : Memories

Author : Misty Sky

Lenght : One Shoot

Genre : Sad, Romance

Rate : General

Main Cast(s) : Yoo Eun Hye [Aktris], Lee Dong Hae [SJ], And All Other Cast

NB : Akhirnya setelah sekian lama saya berhasil ngeremaxe FF yang pertama kali saya tulis.

—- Happy Reading —-

Ada yang mengatakan bahwa seorang kakak perempuan tidak boleh dilangkahi adiknya untuk menikah. Tapi itu semua tidak berlaku bagiku, tidak akan mempermasalahkan hal kolot semacam itu. Sekalipun anggapan orang sekitar akan mencemooh, semuanya hanya akan menjadi seperti angin lalu yang lewat.

Mataku melirik sekilas kearah luar, matahari bersinar terik, jalanan aspal yang mengeluarkan uap terlihat jelas. Membuat daun-daun di batang pohon kian menguning. Secara kasat mata semua orang pasti tahu bahwa suasana di luar begitu menyengat.

Siang ini aku berencana mencari hadiah untuk adikku tercinta. Sebentar lagi Yeodongsaengku akan segera menikah. Ikut merasakan kebahagia mereka–calon pengantin–walaupun aku sendiri selalu ditanya terus menerus. Kapan akan punya kekasih? Kapan akan menikah? Tapi hal itu bukan prioritas dalam bagiku.

”Eomma, aku berangkat sekarang,” aku berkata setelah memasukan semua keperluan untuk berbelanja. Segera menuju Eomma yang tengah merapihkan barang di ruang keluarga. Mencium wanita paruh baya itu sebelum aku berlari keluar.

”Hati-hati di jalan dan jangan pulang terlalu malam!” Eomma berteriak, karena aku sudah jauh melangkah melewati pagar. ”Ne” jawabku singkat.

Kulangkahkan kaki menuju halte terdekat. Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sana, beruntung di sepanjang jalan yang aku lewati terdapat banyak pohon-pohon maple rindang yang berjejer di tepian jalan. Daun yang tanggal berserakan membuat jalan aspal yang hitam kelam berhias warna oranye.

Sesampainya di halte aku segera naik, beruntung bus yang akan kutumpangi segera datang. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak dengan sedikit tergesa aku menaiki kendaraan umum tersebut.

Hari ini aku berencana mencarikan hadiah untuk yeodongsaengku. Karena aku masih belum sempat membelikan hadiah untuk pernikahannya nanti.

Kuputuskan untuk menuju Garosugil Street di daerah Gangnam, memilih lokasi itu karena di sana banyak Boutiqe High-end yang dimiliki Desainer ternama.

Ternyata mencari hadiah yang kurasa cocok itu tidak mudah. Aku terus berjalan menyusuri Garosugil atau yang berarti ‘jalan saphira’ beruntung terdapat banyak pepohonan rindang di kedua sisi jalannya. Sehingga aku tidak perlu terlalu sibuk menghindari sengatan matahari yang sangat terik.

Setelah keluar masuk puluhan toko akhirnya aku mendapat barang yang kurasa cocok jika dihadiahkan untuk sepasang pengantin baru.

Kesabaranku diuji karena Boutiqe yang aku kunjungi cukup ramai. Hingga harus mengantri dengan tabah untuk membayar. Butuh waktu setengah jam untuk sampai di depan kasir dan membayar semuanya.

Aku bergegas beranjak keluar, hari telah beranjak menuju petang membuatku memutuskan untuk kembali kerumah. Tidak ingin melewatkan makan malam bersama keluarga yang entah kapan bisa berkumpul lagi. Adikku setelah menikah pasti akan tinggal bersama suaminya. Ah, aku pasti akan sangat merindukan anak nakal itu. Saat ini suasana hatiku sedang baik, terbukti meski aku kesulitan berjalan karena belanjaan yang terlalu banyak. Tapi itu semua tidak lantas menyurutkan semangatku untuk tetap merasa bahagia. Pernikahan ini adalah impian adikku sejak lama. Sudah terlalu lama rajutan cinta kasih mereka tertunda menuju tahap ini.

Selama ini mereka selalu menunda pernikahan, hanya karena aku yang belum menikah dan memilikki pendamping. Tapi aku sudah tidak sanggup dijadikan alasan Eomma untuk selalu menentang keinginan adikku yang ingin segera mengakhiri masa lajangnya.

Saat aku sibuk berjalan dengan belanjaan banyak, tanpa sadar langkahku menabrak seseorang. Ada sedikit rasa sakit di bahu kiri akibat tabrakan yang barusaja terjadi.

”Mianhae,” aku meminta maaf, berkali-kali membungkuk karena merasa bersalah. ”Gwaenchana,” terdengar jawaban seorang pria dengan suara lembut. Memaksa wajahku untuk mendongak menatapnya.

Jantungku berdegub di luar batas. Raut wajah itu begitu mempesona, suaranya yang baru saja aku dengar seolah seperti candu yang memabukan. Tapi entah mengapa aku merasa suara itu tidak asing dalam pendengaran.

”Aigo, bagaimana mungkin ada pria setampan ini di dunia? Apakah dia manusia atau dia malaikat yang turun ke bumi dan tersesat karena tidak menemukan sayapnya?” Racauku dalam hati, hingga tanpa sadar mataku masih memandangnya tanpa berkedip.

Aku hampir tumbang kala ia balik menatapku yang masih membantu. Pria itu menyunggingkan seulas senyuman indahnya. Maka detik itu juga aku seperti agar-agar yang bisa jatuh kapan saja. Terlebih saat pandanganku tertuju pada manik mata hitamnya yang bercahaya. Aku benar-benar bisa gila jika terus berlama-lama seperti ini.

”Agashi, apa kau baik-baik saja?” Pria itu mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku. Membuyarkan semua imajinasiku tentang sosoknya yang teramat sempurna.

”Oh, gwaenchana,” aku mejawab seraya merapihkan belanjaan yang masih berserakan. Pria itu segera membantuku, ia mengambil barang yang masih tergeletak.

Barang terakhir yang diambilnya adalah ponsel kami yang sama persis. Bahkan tipe dan warnanya sama. Tanpa berpikir panjang aku langsung menggambil salah satu ponsel yang ia sodorkan tanpa memeriksanya terlebih dahulu.

”Agashi, apa perlu kubantu?” Raut wajahnya terlihat khawatir dengan keadaanku yang membawa belanjaan sedikit berlebih. ”Tidak usah aku bisa sendiri,” jawabku sebelum berlalu.

”Jaga dirimu baik-baik agashi!” Aku masih bisa mendengar suara teriakannya yang berisi pesan nasehat, yang entah ditujukan untuk siapa. Tapi kata yang barusan diucapkannya seperti sangat akrab di telingaku. Seolah aku terbiasa dengan perkataan seperti itu.

Dengan cepat aku berusahan menepis pikiran konyol tersebut. Tanpa terasa Matahari kian menghilang, berganti sang malam yang merajai bumi. Aku Segera melanjutkan perjalanan agar sampai di rumah tidak terlalu larut.

—– Memories —–

”Ternyata berbelanja saja sudah cukup membuatku lelah sekali hari ini,” aku merebahkan tubuh di kasur, memutuskan untuk melihat persiapan apa saja yang belum kami kerjakan. Perlahan tanganku meraih ponsel yang berdiam manis di atas meja.

”Ige mwoya?! Kenapa ponselku berubah bahkan wallpapernya gambar apa ini?” aku terus meracau, merasa heran dengan dengan ponsel sendiri. Tapi aku yakin ini bukan milikku.

Saat aku masih berkutat dengan rasa penasaran. Dering ponsel membuatku mengalihkan pandangan, rasa heran semakin merasuki.

”Yeobseo, nuguya?” tanyaku pada seseorang di seberang sana. ”Agashi, sepertinya ponsel kita tertukar,” suara seorang pria menjawab pertanyaanku. Suaranya sanggup membuat hatiku merasa tenang.

”Tuan apakah kau pria yang tadi siang bertabrakan denganku?” Aku bertanya untuk memastikan bahwa pria itu adalah dia.

”Ne itu aku sendiri, apakah hari ini kau bertabrakan dengan namja lain selain diriku agashi?” Dia bertanya diringi kekehan kecil. “Astaga, pria ini belum saling mengenal sudah berani sekali meledeku seperti ini,” aku mendengus kesal dalam hati.

”Besok kembalikan ponselku!” Nada suaraku naik beberapa oktaf saat memintanya mengembalikan ponsel. “Baiklah, kita bertemu jam berapa dan di mana?”

”Untuk waktunya besok aku akan mengabarimu lagi kita bertemu di Cijung Cafe. Kau tahu kan tempatnya ada di Garosugil dekat tempat kita bertabrakan tadi siang?” aku bertanya untuk memastikan bahwa pria itu mengetahui Cafe tempat kami bertemu nanti.

“Tentu saja aku mengetahuinya, kau tidak perlu khawatir. Karena dari kecil aku dibesarkan di negara ini,” jawabnya penuh percaya diri. Meski aku tidak dapat melihat wajahnya, tapi dari nada suaranya pasti pria itu sedang menunjukan wajah angkuh.

“Baiklah kalau begitu aku harap besok kau tidak telat tuan! Selamat malam,” aku bermaksud menutup sambungan telpon. Tapi niat itu aku urungkan saat mendengar rengekannya.

”Chankamaneyo! Bolehkah aku tau siapa namamu?” Pertanyaan pria itu membuatku menghela nafas. Dia memanfaatkan kesempatan untuk berkenalan ternyata.

”Memang untuk apa kau tahu namaku Tuan?” Jawabku ketus, meski ada sedikit rasa ingin tahu akan maksudnya yang tiba-tiba menanyakan namaku.

”Aku hanya ingin berkenalan denganmu saja,” suaranya masih terdengar lembut dengan nada yang sama.

”Eun Hye, Yoon Eun Hye itu namaku,” jawabku lantang sebelum akhirnya aku segera mengakhiri sambungan telpon.

—– Memories —–

@Cijung Cafe

Kulangkahkan kaki menuju sudut ruangan, di sudut itu aku bisa melihat karya seniman amatir dengan lebih leluasa. Interior tempat ini dicat putih dengan sangat baik hingga tampilan lukisan dapat terlihat kontras.

Cijung salah satu Cafe favorite yang biasa aku singgahi. Tempat ini adalah penggabungan antara Cafe dan galeri seni kecil, tokonya yang memiliki ukuran yang tidak cukup luas namun terasa sangat nyaman.

Lima menit berselang alunan suara merdu seorang pria mengintrupsi kegiatanku yang tengah menikmati Hongsi Yogurt (Yogurt kesemek) yang tadi sempat kupesan sebelumnya.

”Anyeong Noona Yoon,” sedikit terpesona. Ah tidak aku begitu terpesona melihat dirinya dalam balutan kemeja putih bergaris biru dipadukan dengan celan Jeans warna dongker. Rambutnya yang ditata sedikit berantakan membuatnya terlihat cool.

”Anyeong,” aku menjawab dengan jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Sebisa mungkin berusaha untuk terlihat cuek meski sejujurnya ada perasaan aneh saat iris mataku menangkap siluet bibir indahnya bergaris senyum.

“Mian. Aku membuatmu menunggu,” kembali senyuman memabukan itu tersungging. Membuatku harus menahan nafas karena terpukau.

“Pria ini bisa membuatku gila jika terus berlama-lama berada di dekatnya,” racauku dalam hati, beruntung yang keluar dari mulutku bukan perkataan seperti itu. “Gwaenchana.”

Sesaat setelah ia memposisikan diri duduk di hadapanku seorang pelayan muda yang biasa melayaniku mendatangi meja kami dengan senyum ramah andalannya.

“Aku minta Susam susu,” pria itu menyebutkan pesanannya tanpa melihat buku menu. Susam susu atau susu gingseng segar adalah menu paling populer disini.

“Aigo, aku sangat bahagia bisa melihat Eun Hye Eonnie bisa datang ke Cafe ini bersama Tuan muda Lee,” ucap pelayan itu seraya berlalu. Pergi meninggalkan dirku yang masih mencerna semua perkataannya.

Aku menarik lurus wajah, menghadap pria di hadapanku. Ekspresinya diluar dugaan, tidak sedikitpun raut tidak mengerti terpancar dari wajahnya. Entahlah aku tidak mau membahas perkataan pelayan tadi, yang kuinginkan hanya ponselku segera kembali ke tangan.

“Mianhae karena tidak teliti aku membuatmu harus meluangkan waktu untuk bertemu,” pria itu mengeluarkan ponsel S4 milikku yang tertukar dengan miliknya.

Aku segera mengeluarkan ponsel yang sama persis dari dalam tas. Tepat saat kami menerima ponsel masing-masing, pelayan tadi kembali datang membawa dua jenis minuman.

Aku yakin sekali di samping Susam susu adalah teh, teh yang disajikan dengan scone dan dihias dengan sangat lucu. itu adalah salah satu minuman yang biasa kupesan.

“Eonnie aku memberikan teh ini gratis untuk kalian berdua,” pelayan itu dan diriku memang cukup dekat. Mengingat intensitasku yang sering mengunjungi Cafe ini.

“Ah, ne terima kasih. Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini semua,” aku menjawab sedikit kikuk. “Gwaenchana, aku senang dapat melihat kalian berdua duduk bersama.” Jawab pelayan yang ketahui bernama Hana, kemudian ia tersenyum seraya berlalu.

Aku lebih banyak terdiam sambil menikmati minuman. Sesekali menjawab pertanyaan yang dilontarkannya. Hampir 30 menit sudah kami bersama akhirnya aku memutuskan untuk pulang, tidak ingin berlama-lama dengan pria asing yang baru kukenal.

“Bisakah aku memintamu untuk kembali bertemu?” Lontaran pertanyaannya membuatku mengernyit, ada guratan kecewa dari sorot mata beningnya. Seakan ia tidak rela berpisah denganku, ini entah hanya perasaanku saja atau memang benar seperti itu.

“Kita lihat saja nanti Tuan,” jawabku seadanya tanpa mahu ambil pusing akan perubahan drastis wajahnya.

—– Memories —–

Hari demi hari terus berlalu silih berganti, di penghujung musim gugur hidupku telah terisi oleh sosok pria itu–Donghae–selalu mengisi malamku dengan suara merdunya.

Semenjak kejadian tertukarnya ponsel kami, dirinya lebih sering menghubungiku. Melewatkan malam dengan obrolan atau celotehannya. Aku lebih senang menjadi pendengar yang baik daripada harus bersusah payah bercerita, terkadang lelucon konyolnya bisa sedikit membuat bibirku berhias senyum.

Ada rasa rasa hangat yang membalut angan setiap kali alunan suaranya terdengar di telinga. Suara itu seperti melingkupi hatiku yang entah sejak kapan mulai membeku. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali mengenal seorang pria meski hanya sebagai sahabat. Yang jelas pria ini mampu membuatku merasa nyaman.

Merasa seperti mempunyai malaikat pelindung, saat aku kesulitan ia seolah tahu dan paham. Kemarin saat aku terjebak hujan di Halte. Pria itu tiba-tiba berada di sana. Ia memberikan payung yang masih terlipat di tangannya.

Aku sangat terkejut atas kehadirannya yang mendadak. Tapi di sisi lain merasa senang, karena saat itu hari mulai malam dengan cuaca dingin yang sangat menusuk. Jika aku lebih lama di sana mungkin esoknya aku sudah terkapar karena sakit.

Sering sekali Donghae muncul seperti itu. di saat aku dalam kesulitan ia selalu datang untuk mengulurkan bantuan. Aku berpikir mungkin itu hanya sebuah kebetulan semata. Terkadang aku tidak dapat mengerti jalan pikirannya.

Selama aku mengenalnya bahkan sikap yang aku tunjukan jauh dari kata ramah atau hangat. Aku hanya terbiasa berkata seperlunya tanpa mau membahas obrolan ringan lain jika sedang berbincang. Tapi ia tetap bersikeras untuk mendekati dan menjadi penolongku.

Tapi aku berpikir sepertinya ada orang lain yang selalu membantuku. Pria misterius yang mampu membuatku bertanya-tanya.

Kemarin saat aku berbelanja dan lupa membawa dompet, seseorang yang misterius telah membayar semua barang belanjaanku. Aku tidak ingin mempunyai hutang pada orang lain, meski sejujurnya aku tidak tahu harus mencari orang itu di mana. Bahkan petugas toko tidak mengetahui siapa dan di mana tempat tinggalnya.

”Siapa orang itu? Bagaimana aku bisa mengembalikan semua uang yang dia gunakan untuk membayar belanjaanku?” Aku terus bergumam dalam hati, sibuk memikirnya manusia-manusia aneh yang sulit ditebak.

Lamunanku terhenti saat suara klakson mobil menggema. Aku baru menyadari satu hal, kini tubuhku telah berada di tengah jalan raya. Terlalu sibuk memikirkan manusia misterius hingga tanpa sadar aku menyebrang jalan tanpa mengindahkan keadaan sekitar.

Tubuhku seolah kaku untuk digerakan, tidak mampu berkutik saat sorot lampu mobil tengah melaju kencang dan sepertinya sebentar lagi akan menghantam tubuhku tanpa ampun.

Tepat saat jarak antara tubuhku dan mobil itu menipis, aku merasakan ada seseorang yang mendorong tubuhku teramat kuat. Hingga kepalaku membentur keras pinggiran trotoar.

”Auw! Appo,” aku meringis menahan sakit yang luar biasa. Ada cairan kental yang mengalir di sela jari tanganku saat menyentuh kepala yang terasa nyeri.

Namun semua itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan rasa terkejut yang kini menyerang. Saat iris mataku menyaksikan tubuh Donghae bersimbah darah.

”Donghae-ya ireona! Aku mohon bertahanlah! Siapapun aku mohon cepat tolong kami” aku berteriak seperti kesetanan. Tanganku terus mengerakan tubuh Donghae, berusaha membuatnya agar tidak hilang kesadaran.

Tapi itu tidak bertahan lama, karena kini rasa sakit yang luar biasa kembali menyerang kepalaku. Perlahan banyak bayangan bermunculan. Silih berganti seperti roll film yang tengah diputar. Menampilkan potongan kisah yang membuatku sedikit tidak mengerti. Namun setelah itu entah apa yang terjadi, karena yang aku tahu semuanya berubah menjadi gelap.

—– Memories —–

@Samsung Medical Center

Perlahan mataku terbuka, samar-samar dapat kulihat tubuhku berada di atas ranjang dengan selang infus menempel di tangan sebelah kiri. Aroma khas rumah sakit menguar, menerobos rongga pernafasan.

Saat aku tengah mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan ber-cat putih tersebut. Ada rasa nyeri yang kembali mencokol di pucuk kepala. Seketika bayangan asing itu kembali bermunculan, terus berputar silih berganti.

”Andweee!” Tubuhku menegang dengan sendirinya. Teriakan histeris itu terlontar bersamaan dengan rasa penyesalan dan rasa sedih yang menggerogoti lubuk hati. Beruntung Eomma datang dan memeluk tubuhku dengan erat.

”Tenanglah! Eomma ada di sini,” wanita yang telah melahirkanku itu berusaha menenangkan. Mengusap rambutku penuh kasih, mampu mebuatku merasa sedikit tenang.

”Eomma, aku ingat semuanya, aku ingat kalau Donghae Oppa adalah tunanganku,” aku menatap Eomma sendu, berharap memori ini bukan ilusi karena kecelakaan kemarin.

”Tuhan terima kasih kau telah mengembalikan ingatan anakku. Eun Hye-ah benar Donghae adalah tunanganmu yang saat dua tahun lalu akan resmi menjadi suamimu,” Eomma menjawab dengan tangis haru penuh bahagia.

Flashback

Tiga tahun sudah aku dan Donghae Oppa menjalin kasih. Hari ini aku memintanya agar tidak mengantarku untuk mencoba gaun pengantin. Aku ingin ia melihatnya pada saat acara pernikahan digelar. Meskipun pria berwajah inocent itu tetep bersikeras ingin mengantar tapi aku sama kerasnya mengajukan penolakan.

Setelah selesai mencoba gaun yang sesuai dengan seleraku, kuputuskan untuk kembali pulang, tubuhku sudah cukup lelah mengurus tetek bengek persiapan acara resepsi. Serta masih banyak hal lain yang harus kusiapkan.

Saat mobil yang aku kendarai melaju melewati Banpo Bridge, samar-samar terdengar sirine polisi yang mengaum. Saat mobil yang aku kemudikan hendak menepi, aku merasakan benturan hebat dari arah belakang. mobilku berguling dan terpental hingga belasan meter, kepalaku berkali-kali sudah menerima benturan di tempat yang sama.

Rasa sakit yang luar biasa tidak sanggup lagi kutahan, kesadaranku menghilang bersamaan dengan suara benda berat yang terlempar ke aliran sungai.

Flashback Off

”Lalu di mana Oppa sekarang?” Aku bertanya dengan gusar, berharap segera mengetahui keberadaan Donghae. Tapi jawaban yang aku dapati hanya Eomma yang terisak dalam diam.

”Eomma katakan dimana Oppa sekarang! Aku ingin bertemu dengannya, aku akan mengatakan jika ingatanku sudah kembali. Mengaku menyesal karena selama ini selalu bersikap dingin padanya, bahkan aku tidak bisa mengenalinya dengan baik,” aku mengguncang tubuh Eomma, berharap ia segera menjawa.

”Dia di ruangan sebelah dan keadaannya masih koma,” Eomma menjawab dengan suara parau. ‘Aku ingin bertemu dengannya, Tolong antarkan aku kesana!” Aku terus memohon meski Eomma masih terdiam. Sepertinya ia tengah mempertimbangkan sesuatu.

”Arraseo, Eomma ambilkan kursi roda dulu untukmu,” akhirnya ia menjawab seraya berlalu mengambil kursi roda yang berada di pojok ruangan.

Eomma mengantarkanku ke kamar tempat Donghae dirawat. Sesampainya disana dapat kulihat dengan jelas wajah seseorang yang masih terlelap dengan berbagai alat medis menempel pada tubuhnya. Tidak dapat kupungkiri ada rasa sakit yang menghantam ulu hati.

Riak air mataku bermunculan, mengingat perlakuan yang aku berikan selama ini kepadanya. Selalu dingin, kaku, bahkan hati kecilku berusaha mengingkari saat pertama kali mendengar suaranya yang tidak asing di telinga. Seharusnya aku percaya akan kata hati bahwa pria itu memang pernah kukenal sebelumnya bahkan kenyataanya lebih dari itu.

Saat aku tengah sibuk dengan rasa penyesalan, pelukan wanita paruh baya membuatku terhenyak. Sorot mata itu mengingatkanku pada tatapan pria yang tengah terbaring lemah di hadapanku. Detik berikutnya aku menghambur; membalas pelukan Donghae Eomma. “Eommanim.”

”Eun Hye-ah, Donghae selalu bercerita jika belakangan ini dia sangat bahagia, karena bisa kembali dekat denganmu. Meski dia masih terluka saat dirimu tidak dapat mengingatnya,” Donghae Eomma menatapku dengan berderai air mata. Sekilas ia menatap tubuh anaknya yang masih tidak bergerak.

”Maaf atas kebodohanku, karena tidak bisa mengenali oppa,” air mataku terus berjatuhan hingga tanpa sadar membasahi telapak tangan Donghae yang masih berada dalam genggamanku. Nafasku terasa sesak membayangkan betapa tersiksanya Donghae selama ini.

”Dia sengaja mendekatimu saat kejadian tabrakan itu, membuat ponsel milikmu tertukar dengan miliknya itu hanya sebuah siasat yang disengaja. Pada awalnya kami semua meralang keras. Kami takut ingatanmu tidak bisa kembali lagi, tapi bocah nakal itu tidak perduli. Dia berjanji tidak akan melakukan hal yang akan membuat dirimu untuk mengingat masa lalu.”

Kali ini Donghae Appa menceritakan semua kejadian pertemuan siang itu yang menyebabkan ponselku tertukar. Ternyata itu bukan kebetulan, tapi hal yang disengaja namun disamarkan.

”Eun Hye-ah, Donghae sering mengikuti kemanapun kau pergi, secara diam-diam memperhatikanmu dari jauh. Memastikan bahwa kau akan baik-baik saja, dan pulang kerumah dalam keadaan selamat,” Eomma membeberkan semua yang Donghae lakukan selama ini.

”Ternyata yang selama ini selalu datang dan membantuku di saat aku kesusahan itu semua bukanlah sebuah kebetulan. Kenapa aku begitu bodoh? Tidak mungkin ada kebetulan yang terjadi hingga berulang kali, pantas saja pelayan di Cafe itu terlihat bahagia melihatku dan Oppa duduk bersama pasti alasannya adalah hal ini,” isak tangisku kian menjadi, merutuki kebodohanku yang tidak pernah peka akan keberadaannya.

”Dia seperti orang gila setelah dokter menyatakan bahwa kemungkinan besar ingatanmu tidak akan pernah kembali.”

”Mianhae Oppa aku begitu jahat padamu, selama 2 tahun membuatmu begitu menderita,” saat aku tertunduk dengan deraian air mata. Kepalaku merasakan belaian lembut seseorang yang begitu aku kenali.

”Oppa, apakah benar ini dirimu?” tanyaku tak percaya.

”Mwo, Oppa?” Donghae melihat ke arah para orang tua. Meminta penjelasan atas sikapku, dapat kulihat mereka semua mengangguk, tanda isyarat bahwa ingatanku sudah bener-benar kembali dan pulih.

”Chagi boghosippo, terimakasih kau telah kembali,” pria itu tanpa rasa malu meneteskan air mata. Ia berusaha bangun untuk memeluk tubuhku.

”Oppa istirahat saja tubuhmu masih belum pulih! Aku tidak ingin pernikahan kita diundur kembali hanya karena dirimu harus tinggal lebih lama di rumah sakit,” candaanku sontak membuat semua orang yang berada di ruangan ini tertawa.

”Rupanya calon istriku ingin segera menikah,” Donghae berkata dengan mata berbinar yang baru pertama kali kulihat. Karena dulu saat ingatanku masih hilang aku selalu menangkap ada kepedihan yang terpancar dari sorot matanya meski ia tengah tertawa.

Semuanya sepakat setelah Donghae Oppa sembuh, pernikahan kami akan segera digelar. Tentu saja kami semua harus bergegas untuk menyiapkan semua keperluan pesta.

—– Memories —–

Mentari pagi bersinar cerah mengiringi acara sakral yang akan kami lewati, burung gereja terbang rendah saling bercicit dengan kawannya. Seolah mengisyaratkan bahwa mereka ikut bahagia dengan acara yang kami langsungkan dengan sederhana namun penuh hikmat.

Saat pria dengan eye smile itu resmi menjadi suamiku, saat itu juga aku merasa telah menjadi wanita yang paling bahagia di dunia. Tuhan telah mengembalikan aku kepada pemilik tulang rusukku. Sebuah keajaiban setelah Dokter dengan jelas menyatakan bahwa aku akan kehilangan ingatan untuk selamanya.

Tapi Tuhan telah menggariskan takdir yang indah. Selama apapun kami berpisah dan aku kehilangan semua memori tentang sosoknya. Namun pada akhirnya kami kembali bersatu dan kini aku menjadi istri dari pria yang sangat aku cinta. Melahirkan malaikat-malaikat kecil yang akan menambah lengkap kebahagiaan kami.

Kebahagiaan ini terlalu luar biasa, bahkan jika harus diungkapkan dengan kata sekalipun rasanya aku tidak sanggup untuk memilah kata mana yang sanggup untuk menjabarkan perasaan haru penuh suka cita yang tengah aku rasakan.

Tiba saat acara resepsi yang berjalan dengan lancar dan sangat meriah, tamu yang undangan yang hadir begitu banyak. Membuatku cukup lelah karena terlalu lama berdiri. Tapi semua itu terbalaskan setiap kali menyaksikan rekahan senyum di bibir Donghae yang menenangkan.

—– Memories —–

Perlahan aku memasuki kamar pengantin kami dengan detak jantung yang tidak beraturan. Setelah sebelumnya aku sengaja berlama-lama di kamar mandi. Berharap saat aku keluar Donghae sudah terlelap.

Hatiku merasa lega ternyata dia sudah tidur, aku membaringkan tubuh di kasur dengan sangat hati-hati. Tidak ingin membuat suamiku terbangun. Perlahan aku memejamkan mata, tapi tiba-tiba saja tangan seseorang melingkar di perutku.

Yang lebih membuatku terperangah adalah, pria itu–Donghae–mencium pipiku dengan sangat lembut. Senyumnya tergaris saat manik matanya menatapku sayu namun menuntut. Ia bangun dari posisinya sekarang. Menyandarkan tubuhnya pada pilar ranjang. menepuk dadanya sebagai isyarat memintaku bersandar disitu.

Meski dengan gugup dan tidak menentu, tubuhku mengikuti titah halusnya. Kepalaku bersandar pada dada bidang itu, hangat dan nyaman itu kesan pertama yang aku rasakan. Mungkin selanjutkan aku akan kecanduan berada dalam dekapan ini, membaui penciumanku dengan feromon tubuhnya yang memabukan.

”Chagi apa kau bahagia?” Ia bertanya seraya mengusap pelan pucuk kepalaku. Seolah tangannya ingin menyalurkan rasa sayang yang masih membuncah dan tidak pernah berkurang.

”Aku sangat, sangat bahagia,” aku menjawab dengan mata berkaca-kaca, mengingat semua hal yang telah kami lalui, seperti jalan yang berliku tajam dan penuh duri untuk bisa sampai pada saat seperti ini. Ada banyak air mata yang tumpah, serta rasa sakit yang luar biasa mengiris hati.

”Mulai sekarang jangan pernah menangis, karena aku akan berusaha semampuku untuk tetap membuatmu tersenyum,” ia mengusap pelan sudut mataku yang mulai berair.

“Oppa, aku juga akan menebus semua kesalahanku karena selama dua tahun telah membuatmu begitu terluka. Akan kubuat semua luka itu hilang hingga tidak tersisa,” aku mengeratkan pelukanku di tubuhnya.

“Baiklah kalau begitu kau harus menuruti semua kemauanku Ny. Lee! Bagaimana kalau kita mulai saja sesi bercintanya?” Sorot mata Donghae berubah nakal. Astaga sepertinya aku harus segera meminum pil penenang. Karena bisa saja sebentar lagi aku kehilangan pengendalian diri.

Pipiku terasa panas, mungkin sekarang warnanya telah berubah menjadi merah seperti terbakar. Jantungku terus meronta seolah ia tidak rela berada di dalam tubuhku dan ingin melompat keluar mencari udara bebas.

”Tapi apakah harus malam ini?” Dengan takut akhirnya pertanyaan itu sukses terlontar. ”Bukankah kita sudah resmi menjadi suami istri, Apakah kau ingin melakukannya setelah aku tua dan tidak sanggup untuk melakukannya?” Ia bertanya dengan wajah yang kian mendekat. Apa dia tidak tahu perasaanku saat ini tidak menentu, seharusnya ia mengerti aku belum siap tapi tidak mungkin juga membiarkannya sampai tua seperti itu.

Tanpa sadar ia telah membenarkan posisi tubuhku. Kini aku sudah berada di bawah tubuh tegapnya, melihatnya dari bawah sini rasanya aku meleleh seperti salju yang terkena paparan matahari. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, menciumku dengan penuh kasih. Awalnya hanya ciuman lembut tapi semakin lama ciuman itu berubah menjadi penuh gairah dan menuntut.

Tanpa aku sadari perlahan baju yang kukenakan telah tanggal satu persatu, bahkan aku tidak menyadari kapan pria itu melakukannya. Semua sentuhan yang ia lakukan membuatku gila. Aku seolah lupa akan rasa takut yang tadi masih bergelut dengan pikiranku.

Meski perasaan itu masih mendera, tapi yang kini menjadi pemikiranku adalah masa depan yang harus kami rajut dengan indah. Semoga di depan sana jalan yang akan kami lalui meski terjal tidak akan membuat kami terhempas.

Banyak do’a dan harapan yang aku panjatkan untuk menyambut masa depan yang gemilang.

FIN

2 thoughts on “Memories

Leave a comment