Fiction

1558706_1382504855344605_2048256053_n

Tittle :  Fiction

Author : Misty Sky

Lenght : One Shoot

Genre : hurt, Angst

Main Cast(s): Jang Dong Guk (Aktor), Kim Ha Neul (Aktris), Lee Tae San (OC)

— Happy Reading —

Kicauan burung membelah pagi buta di musim semi, menjadi salah satu suara yang tertangkap dalam indera pendengaran. Gemerlap butiran bening yang terkena pancaran sinar matahari, menjadi pemandangan yang selalu aku nantikan. Menanti saat embun itu berjatuhan. Meninggalkan daun-daun hijau yang belum lama tumbuh.

Puluhan orang berlalu lalang menikmati hari minggu yang cerah. Menghirup udara pagi yang masih segar. Beberapa pengunjung di sekitarku menggunakan sepeda. Banyak dari mereka yang bersepeda dengan pasangannya. Tidak sedikit pula yang berlari santai seperti yang sedang kulakukan.

Mataku tertuju pada bangku taman yang kosong, tanpa berpikir panjang segera kudaratkan tubuh untuk beristirahat. Berlari dua kilometer cukup membuat tubuhku berkeringat.

Pandanganku beralih, menatap wajah wanita yang aku cintai, dia mengekor duduk tepat disebelahku. “Apa kau lelah?”

Sebuah pertanyaan terlontar dariku. Dia hanya menggeleng seraya tersenyum simpul. “Apa kau lapar?”

Kembali pertanyaan biasa namun sarat dengan perhatian terlontar. Lagi, hanya gelengan kepala yang aku dapatkan. Mungkin dia merasa aku terlalu mengkhawatirkannya. Dapat kurasakan dia menyentuh pipiku lembut. Belaian tangannya sontak membuatku terpejam.

Menikmati setiap inci jamahan jemari lembutnya. Disini, taman ini selalu menjadi saksi dari awal pertemuan kami hingga saat ini. Semuanya masih terekam jelas dalam memori ingatanku.

Mataku terbuka saat merasakan beberapa orang berbisik pelan. Samar, namun masih dapat terdengar oleh telingaku. “Mereka hanya iri pada kita.”

Sebuah kalimat terucap untuk menenangkan Kim Ha Neul yang menatapku sendu. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Jangan pernah memberikan tatapan kasihan seperti itu!”

Sedikit memohon agar dia tidak menatapku dengan tatapan sayu, memberi penekanan agar dia dapat mengerti perasaanku. Terlihat beberapa pengunjung taman memperhatikan kami dengan seksama. Rasanya lelah saat manusia-manusia itu sibuk memperhatikan kegiatan orang lain.

“Ayo kita jalan-jalan lagi,” perlahan kutarik tangan mungil itu. Mengapitnya mesra, melihat ratusan bunga yang bermekaran. Kami hanya berdiri, menatap kumpulan bunga itu lekat.

“Bukankah kau pernah bertanya, saat kau memintaku memilihkan bunga yang bagus untukmu?” kutatap mata almondnya. Dia mengangguk mantap mengiyakan pertanyaanku.

“Saat itu aku gagal mencari bunga yang paling indah untukmu, tapi sekarang aku menyadari. Bunga yang paling indah adalah bunga yang pertama kali mencuri perhatianku. Sekalipun di depan sana akan tampak bunga yang lebih indah. Namun saat mendekat maka di depannya pasti aku akan menemui bunga yang lebih indah lagi,” sesaat menghembuskan nafas, meraup oksigen sebanyak yang aku mampu sebelum melanjutkan perkataan.

Dia masih menatapku lembut. Sorot matanya begitu meneduhkan. Pandangan mata itu yang selalu membuatku bertahan. Dalam keadaan sesulit apapun, selama dia disampingku. Aku akan selalu mempunyai kekuatan tersendiri.

“Aku belajar dari kejadian saat aku mengejar dan mencari bunga yang selalu tampak indah. Namun saat aku mendekat di depan sana masih ada yang jauh lebih indah. Ketika aku berbalik untuk mencari bunga yang pertama kali mencuri perhatianku, bunga itu telah hilang di petik orang.”

Aku tau dia tidak akan pernah menjawab atupun berkata sesuatu. Kejadian dua tahun lalu membuatnya selalu membisu setiap kali aku bersamanya.

“Dan kau adalah bunga pertama yang mencuri perhatianku. Begitu banyak wanita tapi aku tidak pernah berniat untuk mengejar mereka. Bagiku asalkan kau berada disampingku itu sudah cukup!”

Dapat aku rasakan tangannya sedikit bergetar, terlihat dia mengeluarkan buliran air mata. Kenapa dia harus menangis? Seharusnya dia tersenyum saat aku mengungkapkan perasaanku.

“Uljima! Aku tidak ingin melihatmu menangis,” perlahan kuusap air mata yang mengalir di kedua pipi wajah yeoja yang sangat aku cintai. Terasa hangat saat telapak tangannya menyentuh punggung tanganku.

Kembali aku mengajaknya untuk berjalan menyusuri sepanjang jalan kenangan yang pernah kami lewati sebelumnya. Mengingat semua moment indah yang pernah kami rajut bersama.

Sesekali aku mencuri pandang, hanya untuk sekedar melihat wajah cantik yang selalu aku rindukan. Senyum itu, senyum yang selalu menjadi teman setiap mataku akan terpejam.

Kami menyusuri dua puluh anak tangga yang menuju jalan raya, melewati daun-daun yang tumbuh disekitarnya. Sedikit menanjak, namun selalu terasa indah saat dilewati bersamanya.

Masih teringat jelas dalam memori ingatanku, saat kami berciuman di bawah anak tangga pertama. Semuanya masih terasa lekat mengatup jiwa.

Konsentrasiku pecah saat ponsel S4 milikku memekik. Menyanyikan ringtone panggilan masuk. Nama sahabat karibku tertera menghiasi layar.

“Yeobseo, ada apa kau menelponku di hari minggu?” Nada bicaraku sedikit ketus. Merasa terganggu dengan panggilan telponnya. Aku langsung menanyakan tujuannya menelpon. Ini hari minggu dan aku tidak suka diganggu.

“Aku sedang di luar, mungkin akan berjalan-jalan hingga sore. Aku merindukan perempatan Gangnam. Tempat pertama kali bertemu Ha Neul. Setelah puas kami akan kesana agar dapat menyebrang jalan bersama dengan pejalan kaki lain.”

Sedikit menggerutu saat memutuskan panggilan sahabat dari kecilku itu. “Kajja kita makan di Cafe favorite kita.”

Aku menggengam tangannya mesra, rasanya tidak pernah bosan untuk tetap bersikap seperti ini. Banyak pasang mata menatap ke arah kami. Aku tidak perduli. Mereka tidak berhak untuk protes atas tingkah kami yang selalu mesra di depan umum. Sudah saatnya jam makan siang, kami telah tiba di Mouse And Rabbit Cafe.

“Selamat datang,” suara renyah pelayan cafe menyambut kedatangan kami. Aku segera memesan dua ice cappuccino.

“Maaf tuan, apa anda yakin ingin memesan dua ice cappucicno?” Tampaknya pelayan itu tidak yakin dengan pesananku. “Ne, saya yakin. Tolong antarkan ke meja paling ujung!”

Aku segera menarik lembut tangan Ha Neul, menuju bangku deretan terakhir yang kebetulan kosong. Tempat paling ujung dengan view terbaik untuk menikmati jalanan kota Seoul.

“Apa kau ingin makan sesuatu?” aku masih mengkhawatirkannya yang tidak mau makan. Kali ini jawaban yang aku terima masih sama. Dia tetap menggelengkan kepalanya.

“Silahkan dinikmati tuan,” suara pelayan yang mengantarkan pesanan kami datang. Mempersilkan untuk menikmati pesanan. Dapat kulihat sebelum dia berlalu tersenyum seduktif mungkin. Senyum yang selalu dia tunjukan setiap kali aku ke tempat ini.

“Minumlah perlahan,” aku menasehati Ha Neul agar ia tidak tersedak. Namun dia sepertinya tidak menghiraukanku. Aku hanya dapat mengulum senyum melihat tingkahnya.

Sungguh demi apapun, hal yang mampu membuatku selalu bahagia adalah saat menatap setiap gerak geriknya. Sesekali aku menggodanya dengan candaan yang sama sekali tidak lucu. Membuatnya mengerucutkan bibir. Ah, dia terlihat semakin menggemaskan saat marah.

Dia menatap sekitar, menatap orang yang berada satu ruangan dengan kami. Mereka seolah iri melihat romansa yang kami buat. “Biarkan saja! Jangan pernah perdulikan mereka, arraseo!”

Entah berapa kali dalam sehari kata semacam itu terlontar dari mulutku, bahkan rasanya aku merasa lelah saat orang di sekitar menatap kami seperti mahluk dari planet lain.

“Apa kau tahu? Setiap kali aku menikmati hari bersamamu, maka setiap kali itu pula jantungku akan berdetak lebih cepat dari biasanya.”

Kali ini tatapannya seolah mencibir, mungkin dia tidak setuju dengan pernyataanku. Aku tahu sebenarnya dia gadis yang tidak suka dipuji. Tapi dia tidak tahu bahwa aku sangat menyukai saat wajahnya merona.

“Aku mohon apapun yang terjadi jangan pernah pergi!” Kali ini aku meremas ujung jemarinya. Terkadang sering rasa takut menghinggapi. Rasa yang entah datang dari mana. Anganku selalu berpikir bahwa dia suatu saat akan pergi. Meninggalkanku dalam kubangan luka. Setiap kali aku mengingatnya maka saat itu pula hatiku berubah sakit.

Dua tahun sudah aku tidak pernah mendengar suara lembutnya. Dua tahun sudah aku selalu dibayangi perasaan bersalah. Menyesali kejadian lampau yang mengerikan.

Saat di mana dia tertabrak mobil. Saat dia akan menyebrang menuju tempatku berdiri saat itu; di sebrang jalan.

“Sudah mulai sore, ayo kita ke daerah Gangnam,” aku mengajaknya berdiri. Mempersilahkannya untuk berjalan disampingku.

Bumi yang berotasi menjadi senja menyuguhkan lembayung berwarna oranye cerah. Menemani perjalan kami menyusuri pinggiran jalan raya kota Seoul. Sepanjang jalan yang kami lewati dihiasi kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Jalan yang biasanya berwarna hitam aspal sedikit berubah berhias merah muda.

Tanpa terasa kami telah sampai diperempatan Gangnam. Tepat di depan lampu merah. Puluhan orang telah bersiap untuk menyebrang.

Sesaat aku mendongak kala rintik hujan menyapa tubuh kami. Semua orang yang berjejer rapi sibuk mengeluarkan payung dari dalam tas yang mereka bawa.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku rasa percuma jika aku mengajak Ha Neul berteduh. Wanita yang kini ada di sampingku dia suka hujan. Ya, dia sangat menyukai hujan.

Aku putuskan untuk tetap berdiri di sampingnya. Tanpa berniat mengajaknya berteduh. Mungkin orang yang saat ini berdiri di sampingku berpikir bahwa aku sudah gila. Berdiri di bawah hujan tanpa berniat melindungi yeojanya.

Tatapan itu, tatapa mata yang sama seperti dua tahun lalu, bahkan tidak pernah berubah sedikitpun. Dia boleh tidak pernah berbicara padaku, tapi semua yang ada padanya masih sama.

Saat dia menyentuh wajahku, menatapku dengan tatapan sayu. Wajah kesal saat aku bertingkah dan membuatnya marah. Bahkan senyuman hangat yang selalu dia umbar ketika kami bersama.

Tanpa sadar lampu untuk perjalan kaki telah menyala. Saat kulihat sekitar hanya aku dan Ha Neul yang tersisa. Kami orang terakhir yang akan menyebrang.

“Sebaiknya kita menyebrang sekarang, sebelum lampunya kembali berubah warna,” aku berucap, menggenggam tangannya lembut untuk melangkah bersama.

Kami menyebrang jalan bersama, saat perlahan berjalan. Entah apa yang sebenarnya terjadi seseorang menarik tubuhku agar kembali ke tempat semula. “Apa yang kau lakukan, Apa kau ingin mati?!” Suaranya begitu keras. Memekik seolah aku adalah orang yang tuli.

“Aku hanya ingin menyebrang jalan, kenapa kau berteriak seperti itu padaku?” aku mencoba bertanya kenapa dia bisa bersikap seperti itu.

“Aish, aku bisa gila bila terus membiarkanmu seperti ini.”

Masih terpaku menatapnya heran. Aku tau orang sering berkata bahwa aku aneh. Tapi dia Lee Tae San sahabatku sendiri sering memperlakukanku seperti ini. Berbuat seolah aku salah dan mengabaikan mereka semua.

“Ini sudah hampir jam makan malam, tapi kenapa kau tidak pulang ke rumah? Coba lihat bahkan kau masih memakai baju olahraga, apa kau tidak berpikir bahwa Imo sangat mengkhawatirkanmu? Kau sudah tua sebaiknya jangan larut dalam kesedihan, sampai kapan kau akan terus begini?!”

Aku semakin tidak mengerti. Apa yang dia maksud? Larut dalam kesedihan apa? Sungguh, aku tidak mengerti sedikitpun dengan ucapannya. Dia selalu berkata dengan wajah mengeras setiap kali aku pergi bersama Ha Neul.

“Apa maksudmu larut dalam kesedihan? Aku memang memakai baju olah raga karena seharian sibuk menghabiskan waktu dengan Kim Ha Neul, apa tidak boleh aku menikmati hari libur dengan calon istriku?”

Mungkin kali ini nada suaraku naik beberapa oktav dari sebelumnya. Aku terlalu lelah mendengar nasehat orang di sekitar agar aku bangkit. Bahkan aku sendiri tidak pernah merasa terpuruk.

“Sudahlah maafkan aku, sebaiknya kita segera pulang. Aku mohon jangan buat ibumu khawatir!” suara Tae San melemah. Terdengar nada tulus dari ucapannya. Dia memang hanya sahabat, tapi aku tau dia memperdulikan aku, bahkan dia selalu mencemaskan ibuku.

Dia selalu mencemaskan Eomma terkadang melebihi diriku. Aku mengikutinya menuju BMW hitam yang diparkir tidak jauh dari tempat kami berbincang tadi.

“Sebaiknya jangan selalu seperti ini. Aku mohon pikirkan kesehatan ibumu! Kau bukan anak kecil atau remaja yang berusia belasan tahun lagi. Umurmu sudah hampir kepala empat.”

Dia menyetir dengan mulut yang masih berceloteh memberikan nasehat. Aku tau dia sangat perduli pada keluarga kami. Tapi aku tidak suka jika sahabat dan Eomma berkata agar aku melupakan Ha Neul.

Jika aku harus melupakan Ha Neul itu sama saja mereka mencoba untuk membuatku mati perlahan. Aku merasa mereka begitu kejam pada wanita yang selalu disampingku itu. “Hey, apa kau mendengarkanku?”

“Iya aku mendengarkan, hanya saja aku sedikit lelah,” aku menjawab dengan mata tertutup rapat. Berusaha mencari ketenangan. Rasanya seperti kehilangan jati diri, selalu merasa seolah kehilangan sesuatu yang berharga. Tapi aku tidak pernah dapat mengetahui itu apa.

Dapat kurasakan mobil milik Tae San berhenti. Kupaksakan agar mataku terbuka. Ternyata kami sudah sampai.

Bergegas turun dari mobil. Aku mensejajarkan langkahku agar berjalan bersama menuju rumah. Aroma menu makan malam yang dimasak Eomma tercium hingga luar. Aku yakin itu adalah kimbab.

Langkahku terhenti mendapati Ha Neul yang telah menunggu di depan pintu. Dia menyambutku dengan senyum manisnya. “Kenapa menunggu diluar? Disini cuacanya dingin. Ayo kita masuk kedalam.”

Aku membawa Ha Neul masuk. Raut wajah Tae San berubah masam. Dia menekuk wajahnya seolah tidak menginginkan kehadiran Ha Neul.

“Eomma sudah menunggumu dari tadi, makanya Eomma meminta bantuan Tae San agar mencarimu, ayo kita makan bersama,” ucap Eomma saat dia melihat aku dan Tae San memasuki ruang makan.

Eomma sibuk mengambil nasi untuk kami; aku dan Tae San. Tapi kenapa selalu begini Ha Neul tidak pernah mendapat perhatian dari Eomma.

“Ha Neul juga sepertinya dia ingin makan nasi yang diambilkan oleh Eomma,” aku meminta Eomma untuk mengisi nasi pada piring yang sudah aku ambil untuk Ha Neul.

Tapi Eomma hanya membisu, manik matanya berubah sendu, terlihat genangan air mata mulai menghiasi mata yang mulai renta itu.

“Eomma aku hanya minta nasi untuk Ha Neul, maafkan aku jika Eomma tidak mau mengambilkannya. Aku mohon jangan menangis seperti itu. Sungguh, aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Sedikit berteriak untuk menyampaikan perkataanku. Karena wanita yang telah melahirkanku itu telah berlalu. Membawa wajah sedihnya dan menghilang di balik pintu kamar.

“Apa kau tidak puas terus-terusan menyakiti perasaan ibumu?!” Suara Tae San menggema. Mendominasi ruang makan kami yang berwarna putih.

“Aku tidak bermaksud untuk menyakitinya, aku hanya ingin meminta nasi untuk Ha Neul.”

“Apa kau sadar selama dua tahun kau selalu bersikap seperti ini? Tunjukan padaku di mana Ha Neul sekarang!”

Tae San menarik kasar kerah baju yang kukenakan. Entah apa yang membuatnya begitu emosi. Aku melihat ke arah bangku yang tadi di tempati Ha Neul.

“Tadi dia duduk disana, bahkan dia menyambutku saat aku datang.”

“Kau sudah gila Dong Guk, Ha Neul sudah meninggal dua tahun yang lalu, saat dia menuju altar pernikahan. Jangan seperti ini! Kami semua selama dua tahun harus melihatmu hidup seperti ini. Berbicara sendiri dan bersikap seperti orang gila.”

Perkataan Tae San seolah cambuk yang dia ayunkah tepat di ulu hati. Apa yang di katakan? Meninggal? Sekuat tenaga aku berusaha mencerna semua perkatannya.

“Tidak, itu tidak mungkin, selama ini Ha Neul selalu menemaniku kemanapun dan dimanapun aku berada. Bercandamu tidak lucu!”

Dapat kulihat jelas lengan lelaki itu mengeras. Menjadi kepalan yang siap meninju wajahku kapan saja. “Mungkin kau harus aku pukul dulu agar sadar. Aku udah tidak tahan jika melihatmu terus seperti ini.”

Sebelum tangan Tae San mendarat di permukaan wajahku, suara Eomma menghentikan aktivitas kami yang masih beradu argumen.

“Jangan pukul dia nak! Walau bagaimanapun dia tetap anakku,” ucap Eomma, dengan berderai air mata dia menatapku. Tatapannya seolah berkata dan memohon agar aku tersadar dari sesuatu.

“Eomma sebenarnya apa yang terjadi? Katakan padaku bahwa yang dikatakan Tae San tadi itu tidak benar?!” Sedikit mengguncang bahu Eomma agar dia berkata jujur. Dan membenarkan ucapanku. Bahkan tenaga yang aku milikki sudah terkuras saat mendengar penjelasan Tae San tadi.

“Sadarlah anakku, Kim Ha Neul telah meninggal dua tahun lalu. Saat dia menuju gereja tempat pemberkatan pernikahan kalian. Jangan seperti ini, biarkan dia tenang di alam sana!” Suara Eomma terdengar parau. Wanita yang selama 36 tahun telah merawatku itu beringsut.

Memeluk tubuhku yang telah berlutut mendengar perkataan yang dilontarkannya. Dapat kurasakan tubuhku bergetar. Rasa percaya dan tidak bergelut. Menjadi pergolakan batin yang membuatku merasa sakit.

“Ingatlah bahwa dia meninggal saat itu juga. Mobil yang membawa Ha Neul meledak dan tidak ada korban yang selamat di dalamnya.”

Tae San menepuk bahuku pelan. Aku semakin meraung mendengar perkataan Tae San. Bahkan aku sendiri tidak pernah merasa mengantarkannya ke pemakaman.

“Cukup! Jangan bercanda lagi denganku, Ha Neul masih hidup. Aku tidak pernah mengantarkannya ke pemakaman. Dia selalu menemaniku selama dua tahun ini. Jadi yang kau katakan itu pasti hanya bualan.”

“Jika Ha Neul masih hidup dimana dia sekarang?! Kau memang tidak pernah mengantarkannya ke pemakaman. Karena saat kau mendengar berita kematiannya, kau menutup diri dari siapapun, bahkan dokter tidak bisa berbuat apa-apa. Kau selalu merasa dia hidup dan nyata. Tadi orang lain tidak ada satupun yang bisa melihat keberadaan Ha Neul.”

Tae San mencecarku dengan semua penjelasan. Dapat kulihat raut wajahnya mengeras. Seolah dia sedang mengeluarkan semua beban dalam setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.

“Apa kau sadar semua orang menderita karenamu. Kami menderita yang harus terus berpura-pura saat melihatmu berbicara sendiri. Bahkan sikapmu yang sering menyebrang jalan di perempatan Gangnam itu membuatku sakit melihatnya. Rasa khawatir dan sedih membuatku sesak. Jadi aku mohon Jang Dong Guk sadarlah! Terima semua kenyataan yang ada.”

Aku merasakan telingaku berdengung. Bumi seolah terbalik, perlahan pandanganku samar dan berkunang. Sisanya hanya gelap, tidak dapat merasakan apapun.

***

Rasa hangat menelisik tubuhku. Memaksa untuk membuka mata yang entah berapa lama terpejam. Tae San tersenyum saat melihatku yang telah sadar. Entahlah, mungkin aku telah pingsan. Yang aku ingat terakhir kali adalah saat berdebat di ruang makan.

“Akhirnya kau sadar. Maafkan aku, malam itu aku terlalu kesal hingga berkata kasar padamu,” lelaki itu berucap seraya membenarkan letak duduknya. “Terima kasih. Maaf jika selama ini aku membuat kalian susah,” aku berucap dengan tatapn tenang. Berusaha meyakinkah Tae San bahwa aku tidak apa-apa.

“Apa kau sudah ingat semuanya?” dia bertanya dengan hati-hati. “Aku sudah ingat semuanya. Boleh aku minta tolong?”

“Aku lega mendengarnya. Baiklah katakan kau mau meminta bantuan apa dariku?”

“Tolong antarkan aku ke peristirahatan terakhir Ha Neul,” wajah memelas aku tunjukan padanya. Berharap dia tidak tega untuk membiarkanku berlama-lama di gedung berbau obat ini.

Meskipun awalnya dia ragu. Setelah aku mendesaknya akhirnya dia luluh juga. Aku memintanya agar meminta surat pulang pada dokter. Semuanya urusan rumah sakit telah diselesaikan oleh sahabat terbaiku itu. Kami segera menuju tempat Ha Neul di semayamkan.

“Aku rasa Ha Neul kecewa padamu,” dia berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. Tangannya sibuk memutar kemudi. Jalanan menuju pemakaman di atas bukit. Membuat Tae San harus fokus pada kemudinya. Banyak jalan berkelok yang kami lewati.

“Aku rasa tidak, buktinya selama ini dia tetap menemaniku,” aku menjawab perkataan Tae San enteng. Membuat lelaki itu mendengus kesal. “Karena kau aku hingga saat ini belum menikah juga. Bahkan tunanganku pergi karena aku sibuk mengkhawatirkanmu,” sedikit terkejut saat mendengar pernyataannya.

“Benarkah? Maaf karena sudah membuatmu menjadi perjaka tua sepertiku, kau sepertinya sangat perduli padaku? Kenapa kita tidak menikah saja?”

“Mwo? Aku rasa kau sudah sembuh dari kegilaan akan Ha Neul, tapi kenapa harus ada penyakit gila lain yang menghinggapimu,” dia bergidik, mendengar pertanyaanku yang mengajaknya untuk menikah.

“Sudah kau cocok jadi istriku,” candaku yang membuatnya semakin marah saat aku menyentuh tangannya. “Hey, jangan sentuh aku! Aku masih menyukai wanita. Aish, kau ini benar-benar sudah gila!” dia bergegas membuka sabuk pengaman. Kami sudah sampai di pemakaman Ha Neul.

Sedikit berjalan kaki untuk menjangkau tempat Ha Neul dimakamkan. “Anyeong Ha Neul-ssi, aku membawa calon suamimu yang kurang ajar. Selama dua tahun dia tidak pernah mengunjungimu sekalipun. Saat pemakamanmu saja dia tidak hadir sama sekali,” Tae San berbicara pada batu nisan Ha Neul, mereka terlihat sangat akrab.

Aku menyeret kakiku untuk mendekat. Sekuat apapun aku berusaha untuk tegar tapi hatiku tidak dapat berbohong. Tubuhku ambruk, tepat disamping batu nisan bertuliskan nama seseorang yang masih sangat aku cintai hingga saat ini. “Maafkan aku. Maaf karena tidak pernah mengunjungimu. Maaf karena tidak mengantar ke peristirahatan terakhir.”

Air mata semakin bergerombol keluar. Tubuhku beringsut mengeluarkan kepedihan yang selama ini terpendam. Aku seolah menemukan hal yang selama ini menjadi tanda tanya besar dalam hidup. Hal yang aku rasakan pernah terjadi tapi aku tidak dapat mengetahui itu apa.

“Menangislah! Jangan pernah menyimpan kesedihan. Tidak ada gunanya berpura-pura tegar. Jika akhirnya itu hanya akan membuatmu semakin tersiksa.”

Tae San menepuk punggungku lembut. Mendengar perkataannya membuatku semakin menjadi. Isakan yang aku tahan akhirnya lolos juga dari mulutku.

“Jika sudah puas menangis lupakan semua kesedihanmu. Buang semua kepedihan bersama air mata yang telah kau tumpahkan!” Aku menatap dengan mata sembab. Menggelikan jika mengingat usiaku yang sudah di atas kepala tiga, masih menangis seperti anak kecil.

“Ayo kita pulang! Aku sudah merasa jauh lebih baik,” mengajak Tae San untuk beranjak. Meninggalkan pusara yeoja yang aku cintai. “Sebaiknya jika kau ingin menangis datanglah kembali kesini!”

“Aku akan kembali untuk menemuimu, mungkin saat aku kembali nanti akan kubelikan mawar putih untukmu,” kubelai permukaan nisan sebelum beranjak.

—- Jang Dong Guk —-

“Sekalipun kenyataannya kau telah pergi dari dunia ini. Tapi dalam hatiku kau masih disini, dan akan tetap disini! Jika suatu saat aku mendapat penggantimu, kau akan tetap mendapat tempat terindah di hatiku.”

FIN

Leave a comment